Mario
Kecil
Saat
itu saya kelas 4 di SD Poerwantoro - Malang, dan Ibu menyuruh saya belajar
mengaji di surau kecil di kampung sebelah.
Setiap
sebelum Maghrib, saya sudah berdebar gelisah, karena jarak yang kira-kira 600
meter dari rumah ke surau - bagi anak sekecil itu - cukup jauh, melalui sawah,
yang kalau malam gelap dan mengerikan.
Sesampai
di surau, Pak Ustad menyuruh saya adzan. Awalnya saya menolak, karena saya
belum pernah melakukannya, dan yang terbayang di benak kecil saya saat itu -
seluruh kampung berhenti melakukan apa pun untuk mendengarkan adzan saya yang
fals.
Ooh
.. kaki saya gemetaran, jantung sudah di leher, bibir jalan-jalan sendiri ke
mana-mana, tapi apa daya … Pak Ustad memaksa.
Saya
berdiri seperti wayang kulit ditiup angin, dan mengeluarkan semua 'tenaga
dalam' yang sudah gembos sejak tadi itu - untuk mulai melantunkan adzan.
Sejenak
setelah saya mulai, terdengar kegelisahan di dalam surau, dan Pak Ustad menowel
kaki saya, dan berbisik: Heh … salah. Ulangi …"
Saya
memulai lagi, Pak Ustad nowel lagi. Saya coba lagi lebih keras, Pak Ustad nowel
lebih keras. Saya coba lagi sangat keras, Pak Ustad menarik sarung saya dan
memaksa saya duduk.
Ooh
… dunia ini terasa sangat kejam kepada anak kecil yang ketakutan dan terpaksa.
Seorang
anak kecil yang lain di suruh Pak Ustad berdiri menggantikan saya, yang dengan
fasih dan indah melantunkan adzan di Maghrib yang galau itu.
Teman
saya itu juara ngaji di surau itu, dan mungkin sekarang sudah jadi anggota MUI.
Saya
berjalan gontai, lupa akan semua hantu dan jin yang selama ini memomoki pikiran
kecil saya - setiap saya menembus jalan di tengah sawah yang gulita itu.
Di
rumah, Ibu bertanya: Lasise', kenapa kamu diam?
Saya
menggeleng dengan wajah yang hampir robek dengan tangis. Saya masuk kamar dan
menangis, merasa demikian rendah karena gagal di hadapan seluruh kampung.
Hati
saya yang masih kecil itu berdoa, semoga saya akan menjadi lebih kuat
menghadapi kegagalan dan kekecewaan saat saya dewasa nanti.
Dan
saya berjanji, tidak akan berlaku kasar dan semena-mena menggampangkan
kesedihan anak-anak saya di masa depan, saat mereka merasa kecewa karena
kegagalan.
Orang
tua tidak boleh menyepelekan rasa kecewa anak kecil, karena bagi anak kecil -
kekecewaan mereka terasa lebih besar daripada kekecewaan orang dewasa.
Setelah
kejadian yang memalukan di surau itu, saya tetap melakukan kesalahan dan gagal
dalam banyak hal, menyesal dan menangis, terkadang bersembunyi menanggung malu,
tapi saya seperti bola bekel - tetap melanting naik setelah jatuh, dan semakin
tinggi lantingan saya - jika saya dibanting.
Ternyata,
bukan jatuhnya yang penting, tapi bangkitnya.
Ternyata,
semakin keras bantingan hinaan kepada kita, semakin tinggi kita dinaikkan oleh
Tuhan - jika kita ikhlas.
Sayangilah
anak-anak kecil.
Merekalah
tempat kita bersandar di masa tua.
No comments:
Post a Comment