Seiring semangat kebangsaan yang tercetus dasawarsa 1920-an, Ir.
Soeratin Sosrosoegondo mendirikan Pesrsatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI)
untuk mewadahi kegiatan sepakbola nusantara sekaligus menjadi salah satu alat
perjuangan bangsa. Tanpa inisiatif tersebut, sepakbola Indonesia tidak pernah
dikenal di zaman konialisasi karena terkotak-kotak ke dalam berbagai bond sepakbola
lokal.
PSSI mulai dikhawatirkan
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebagai upaya menandingi kekuatan PSSI, didirikan
Nederlandsh Indische Voetbal Unie (NIVU) pada 1936. Menjelang Piala Dunia
Prancis 1938, dibuatlah perjajnjian antara kedua pihak untuk mengirimkan
perwakilan. Namun, karena tidak menghendaki bendera yang dipakai tim, Soeratin
membatalkan secara sepihak perjajian tersebut. NIVU tetap mengirimkan bendera
Hindia Belanda. Tim tersebut adalah perwakilan Asia pertama sepanjang sejarah
Piala Dunia.
Jejak Indonesia sebagai salah
satu tim yang disegani dikawasan Asia pun dimulai, sepakbola Indonesia memasuki
periode keemasan disertai dengan sederetan pemain legendaris Merah-Putih lahir
pasca kemerdekaan, seperti diantaranya Ramang, Maulwi Saelan, Suardi Arland,
dan Tan Liong Houw. Pada periode yang sama, Indonesia dilatih pelatih
legendaris asal Yugoslavia, Tony Pogacnik.
Nama Indonesia mulai
diperhitungkan di kawasan Asia, Merah-Putih sukses menembus semi final Asian
games Manila 1954, namun kalah 4-2 dari Taiwan. Pada partai perebutan mendali
perunggu, Indonesia dikalahkan Burma (sekarang Myanmar) denagn skor 3-2.
Pada Olimpiade Melburne 1956,
Indonesia juga mengirim tim sepakbola. Di babak perempat final, Indonesia
langsung menghadapi favorit juara Uni Soviet. Setelah sempat menahan imbang
0-0, Indonesia harus mengakui keunggulan Uni Soviet dengan skor 4-0 pada partai
ulangan hari berikutnya. Prestasi ini kemudian disebut-sebut sebagai sejarah
tertinggi sepakbola Indonesia.
Di kancah Asian Games dua tahun
berikutnya di Tokyo. Indonesia kembali gugur di babak semi final dari lawan
yang sama. Kali ini Taiwan lolos ke semi final setelah memenangkan pertarungan
1-0. Namun, Indonesia sukses membungkus mendali perunggu melibas India 4-1.
Kesempatan terbaik untuk meraih
mendali emas muncul empat tahun kemudian ketika Asian Games digelar di Jakarta.
Persiapan dilakukan dengan menyiapkan dua timnas, satu terdiri dari pemain
senior dan satu lagi dari para pemain muda. Sayangnya, ketika semangat mulai
terbangun, timnas dihantam Skandal Senayan. Beberapa pemain diduga diduga
tersangkut penyuapan oleh bandar judi. Kekuatan Indonesia berkurang dan cabang
sepakbola gagal total saat berlaga.
Indonesia sebenarnya juga
berpeluang menembus kualifikasi Piala Dunia 1962. Setelah melewati hadangan
Cina, Indonesia harus melewati Israel, lawan yang sedang diboikot negara-negara
Arab, tertmasuk Indonesia. Masalah politik terpaksa membendung ambissi
masyarakat menyaksikan bendera Indonesia berkibar di Piala Dunia.
Hegemoni sepakbola Indonesia
mulai beralih ke kawasan Asia Tenggara. Sebelum berpartisipasi dalam SEA Games
1977, Indonesia kerap berlaga di turnamen antar negara, seperti Merdeka Games,
Piala Raja Thailand, Piala Aga Khan Bangladesh, atau President Cup Korea
Selatan.
Setelah turun pesta di pesta
sepakbola Asia Tenggara itu, Indonesia harus menunggu sepuluh tahun sebelum
meraih mendali emas. Gol tunggal Ribut waidi ke gawang Malaysia pada babak
pertama di Senayan mengukuhkan nama Indonesia sebagai raja Asia Tenggara.
Setahun sebelumnya, Indonesia
mengukir kejutan di Asian Games Seoul. Di bawah asuhan pelatih Berjie
Matulapelwa, Indonesia meraih tempat keempat. Prestasi yang cukup
menggembirakan itu ditambah ketika Sinyo aliandoe mampu membawa Indonesia
selangkah lebih dekat ke Piala Dunia 1986. Namun, Merah-Putih kalah tangguh
dibanding Korea Selatan, yang akhirnya lolos ke Meksiko.
Prestasi Indonesia mulai
menukik. Usai Ferril Hattu mengapteni tim memenangi mendali emas SEA Games
1991, tidak ada lagi prestasi tinggi yang diraih Merah Putih. Terutama ketika
mulai 1999, SEA Games diikuti tim U-23. Untuk tim senior Asia Tenggara, Piala
AFF, atau dikenal dengan Piala Tigers, menjadi ajang pretise tertinggi.Prestasi
Indonesia mentok di runner-up. Catatan tersebut diraih tiga kali
penyelenggaraan beruntun, pada tahun 2000, 2002, dan 2004. Tidak hanya posisi
nomor dua, Indonesiamenuai hujatan setelah pada Piala Tigers 1998 sengaja
mengalah 3-2 ketika melawan Thailand. Pertandingan itu ditandai dengan gol yang
disengaja Mursyid Effendi ke gawang sendiri.
Indonesia hanya mampu mencetak
kejutan-kejutan yang hanya dianggap sebagai prestasi minor belaka. Tiga kali
berturut-turut berlaga di Piala Asia, Indonesia hampir selalu menghadirkan
kejutan.
Di Uni Emirat Arab 1996, Widodo
Cahyono Putro mencetak gol spektakuler yang kemudian dinobatkan sebagai go;
terbaik Asia di tahun yang sama.Setelah melempem di Libanon 2000, Indonesia
sukses membukukan kemenangan pertama di kancah pesta sepakbola tertinggi Benua
Kuning itu. Qatar dibekuk 2-1, sekaligus membuat pelatih Philippe Troussier
dipecat. Pada edisi terakhir di kandang sendiri, 2007, Indonesia sempat menang
2-1 atas Bahrain. kalah di dua pertandingan sendiri atas Arab Saudi dan Korea
Selatan, tapi seperti dimaafkan berkat penampilan yang penuh semangat.
Animo masyarakat pun melonjak
tinggi. Prestasi boleh mionim, timnas tetap dicintai. Apapun, catatan tersebut
tak lantas menghilangkan seretnya prestasi sepakbola Indonesia. Sudah 17 tahun
lebih meraihgelar bergengsi. Di Piala AFF 2008, Indonesia kalah tangguh dari
Thailang di babak semi final. Terakhir pada Piala SEA Games 2011 di kandang
sendiri Indonesia hanya mampu meraih mendali perungu, setelah takhluk dari
Malaysia lewat drama adu penalti.
sumber: http://www.google.co.id
No comments:
Post a Comment